Monday, February 22, 2010

ETIKA POLITIK ORANG MUDA KATOLIK

ETIKA POLITIK ORANG MUDA KATOLIK

I.. Pengantar
Politik itu kotor, najis dan memuakan.. Politik itu
kejam, bengis dan terkadang tanpa etika/moral. Politik itu sama dengan mencari
dan mengumpulkan uang. Karena itu hindari dan jangan coba-coba terjun ke
dalamnya. Inilah citra politik bangsa kita yang tak jarang kita dengar, lihat
dan bahkan juga mengalaminya.[1] Politik lalu berubah rupa, dari yang pada
hakikatnya sebagai suatu pengabdian atau pelayanan bagi bonum communae menjadi
boomerang atau skandal yang merugikan atau membuat orang banyak menderita.
Politik, dalam kenyataannya telah menjelma menjadi momok yang menakutkan dan
memakan banyak korban.
Pertanyaan yang layak kita ajukan terkait fenomen di atas yakni Apakah politik
masih perlu untuk kita lakoni? Kalau masih perlu, Politik seperti apa yang dapat
kita lakonkan? Di mana tempat dan sejauh mana kita umat Gereja KatolikÂ
berpolitik dan memainkan peran di dalamnya? Apakah opsiku sebagai orang muda
Katolik dalam berpolitik?
Itulah sejumlah pertanyaan yang dapat kita kemukakan dalam diskusi pada
kesempatan ini.
Politik merupakan sebuah tema yang luas dan kompleks. Karena itu, saya membatasi
diskusi kita dalam tema: ETIKA POLITIK ORANG MUDA KATOLIK (OMK). Yang hendak
kita raih dari pergumulan dengan tema ini adalah mengubah citra politik dari
yang kotor, najis, ,memuakan, bengis, kejam dan serakah menjadi sesuatu yang
indah, menarik, menggembirakan dan “menyelamatkan�. Etika atau Moral Katolik
menjadi “keledai� yang dapat kita pakai untuk menggapai maksud tersebut.

II. Apa Itu Politik
Pada hakikatnya Politik berarti segala macam aktivitas yang berkaitan dengan
orang banyak.[2] Aktivitas di sini terutama yang bertujuan untuk mencapai bonum
communae, kesejahteraan, kemakmuran dam keamanan umat manusia pada umumnya
(social welfare). Politik lahir ketika manusia mengenal hidup bermasyarakat,
bersosialisasi, berinteraksi satu sama lain, serta ketika sekelompok manusia
mampu mempengaruhi kelompok atau elemen manusia lainnya.[3] Politik dengan
demikian merupakan kodrat manusia, sesuatu yang dimiliki oleh manusia sebagai
akibat dari eksistensinya sebagai makhluk sosial.
Dalam perkembangan dan kenyataanya, konsep politik berubah sesuai dengan sistem
dan ideologi politik yang dianut.[4] Bahkan politik dipandang sebagai cara,
metode, alat, “seni� bagaimana memperoleh kekuasaan, bagaimana menjalankan
kekuasaan, serta bagaimana mempertahankan kekuasaan.[5] Di sinilah politik
berpotensi negatif, menjadi sesuatu yang kotor, yang tidak lagi bertujuan untuk
bonum communae atau solfware, tetapi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi
atau kelompok.[6]Â
III. Gereja Katolik dan Politik
Gereja merupakan institusi agamis yang mengatur dan menata kehidupan spiritual
orang banyak. Tekanananya pada keselamatan jiwa. Sedangkan Politik merupakan
alat Negara untuk mangatur dan mensejahterakan rakyatnya. Tekanannya pada
kesejahteraan hidup manusia secara finansial. Walaupun bergerak dalam tekanan
yang berbeda, pada hakikatnya Gereja dan politik memiliki dasar dan tujuan yang
sama yakni mengurus keselamatan manusia, menata kehidupannya menjadi lebih baik
dan menyenangkan.[7] Karena itulah, bagi Gereja politik itu mulia dan luhur,
layak untuk diperjuangkan dan terlibat di dalamnya.[8]
Dalam kenyataannya, praktek politik menyimpang dari arah dan tujuan yang
sebenarnya. Politik lebih terarah dan tertuju kepada kepentingan pribadi,
kelompok dan partai. Kepentingan dan kesejahteraan umum kurang dan bahkan tidak
diperhatikan. Dalam kondisi seperti itu, sebagai tandem Negara untuk mengatur
kesejahteraan dan keselamatan orang banyak, apa yang dapat dibuat oleh Gereja?
Menghadapi fakta “depolitisasi� tersebut Gereja tidak tinggal diam. Gereja
selalu berjuang untuk mengembalikan politik pada jalur yang sebenarnya, yakni
pengabdian dan pelayanan demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Alat
dan sarana yang bisa dipakai untuk tujuan itu adalah HATI NURANI. Â Lewat seruan
dan perjuangannya, gereja selalu berusaha untuk menjalani politik yang bertumpu
pada hati nurani, yang bertika/bermoral. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja telah
menyatakan sikapnya untuk beretika dalam politik. “…bahwa pelaksanaan
wewenang politik, baik dalam masyarakat sebagai masyarakat, maupun di dalam
lembaga-lembaga yang mewakili Negara, selalu harus diwujudkan dalam batas-batas
tata susila, demi mengusahakan kepentingan umum-dan tentunya kepentingan umum
menurut pengertian dinamis-sesuai dengan tata hukum yang ditetapkan atau yang
akan ditetapkan secara sah. Maka para warga diwajibkan dalam hati nuraninya
untuk taat. Akan tetapi dari
situ jelaslah tanggung jawab, martabat dan pentingnya mereka yang memimpin..
Namun di mana para warga dipaksa oleh kekuasaan Negara, yang melanggar
wewenangnya, hendaknya mereka tidak menolak apa yang secara obyektif dituntut
oleh kepentingan umum; akan tetapi mereka boleh membela haknya dan hak sesame
warganya terhadap penyalahgunaan wewenang ini, sambil memperhatikan batas-batas
yang digariskan hukum kodrati dan hukum Injil� (GS No.74).

IV. Etika Politik Orang Muda Katolik
4.1.  Tempat Orang Muda Katolik dalam Gereja
Pada prinsipnya, Gereja memberi tempat dan peluang  kepada orang-orang mudanya
untuk berpastisipasi aktif dalam pembangunan dan pengembangan Gereja. Oleh
karena Gereja juga dipanggil untuk berpartisipasi dalam politik[9], maka para
kaum muda juga dipanggil untuk meringankan tugas Gereja itu. Hanya yang penting
untuk diperhatikan adalah visi dan misi apa yang hendak diwartakan dan diperolah
dari upaya keterlibatan dalam politik itu.[10] Juga yang harus diperhatikan
adalah soal sikap, motif dan citra politik seperti apa yang perlu dilakoni.
Yang pasti bahwa Gereja amat mengharapkan keterlibatan politik OMK yang
beretika/bermoral, yang bertumpu pada bisikan hati nurani yang jernih dan yang
bertujuan demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Untuk itu, OMK mesti
bercermin pada Yesus Kristus, politikus handal yang bermoral.

4.2. Etika Politik OMK: Bercermin Pada Yesus Kristus Sang Politikus Bermoral
Ada banyak konsep tentang etika. Namun Secara etimologis,
etika berasal dari bahasa Yunani ethos (Jamak: ta ethica) yang berarti
kebiasaan, adat istiadat, cara yang lazim dalam bertindak, dan watak. Dan Secara
realis, etika dipahami sebagai ilmu atau filsafat tentang tindakan manusia yang
dinilai baik atau buruk.[11] Dari definisi ini jelas terlihat bahwa penekanan
terletak pada tindakan manusia (objek etika). Pertanyaan khasnya adalah Apakah
tindakan itu baik atau buruk? Hakim etika adalah Suara Hati / Hati Nurani.
Hukumnya adalah bila Hati Nurani melihat sesuatu itu baik, maka lakukanlah,
namun bila buruk, maka hindarilah. Akan tetapi bila masih ragu-ragu jangan
mengambil keputusan dan bila terpaksa harus mengambil keputusan, maka mesti
memakai prinsip minus malum: melakukan yang kurang buruk dari keburukan yang
ada.
Dalam agama Kristen, etika juga mendapat perhatian. Agama Kirsten sendiri
memiliki etika khusus dengan nama Moral Kristen. Dalam paham moral Kristen,
orang bisa memberikan penilaian moral terhadap sutu perbuatan/tindakan dengan
bertumpu pada 3 hal yang saling mengikat, yakni: Objek tindakan itu sendiri,
Motif tindakan itu dibuat dan circumstance (sikon) yang mengitari tindakan itu
terjadi. Bila objek tindakan itu baik, motifnya baik dan circumstance mendukung,
maka tindakan itu otomatis bernilai baik, dan sebaliknya. Akan tetapi bila objek
tindakannya buruk, motifnya baik dan circumstance mendukung, maka tindakan itu
belum tentu bernilai buruk (tidak etis).
Pada hakikatnya, ajaran etika atau moral Kristen terletak pada ajaran moral
Yesus Kristus. Injil merupakan penjelmaan ajaran moral Yesus Kristus bagi para
pengikutNya. Mahatma Gandhi bahkan pernah mengakui Sabda Bahagia Yesus dalam
Kotbah di Bukit (Mat..5 – 7) sebagai ajaran moral tertinggi. Hukum moral Yesus
yang pertama dan utama adalah KASIH, kasih terhadap Allah dan kasih terhadap
sesama (Mat.22:37-39) . Kasih ini harus betul lahir dari HATI. Jawaban ini
diberikan oleh Yesus juga dari HatiNya. Yesus menyadari bahwa cuma Hati yang
bisa melahirkan dan mengalirkan Kasih, bukan pikiran dan kehendak manusia.
Komitmen Yesus pada etika/moral  yang diajarkanNya terjelma juga dalam sikap
politisnya. Sebagai politikus sejati, Yesus Kristus dengan berani berjuang
melawan praktik politik kotor, yang mementingkan diri dan kelompok, tetapi
mengakibatkan orang lain menderita. Yesus tanpa takut berjuang: melawan
ideologisme sempit Kaum Zelot, sikap puritanisme dari kaum Esseni, spiritualitas
pembenaran diri dari kaum Farisi dan spiritualitas “klas bersenang-senang�
yang aristokratis dari kaum saduki, para imam agung dan pemuka Yahudi.[12]
Sebaliknya, Yesus mengagungkan dan menganut praktek politik Yohanes Pembaptis,
yang non-violence, tapi liberatif dan berpihak pada kelompok kaum kecil yang
terpinggirkan dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Yahudi. Itulah sebabnya,
Yesus meminta untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan. Setelah
dibaptis, dalam seluruh pengajaran dan pewartaanNya, Yesus selalu mengabdi dan
melayani banyak orang yang terpinggirkan,
tersisihkan, kelompok marginal, orang berdosa. Semua itu dilaksanakan tanpa
kekerasan, dengan penuh pengabdian kepada Allah dan sesama sampai mengorbankan
diriNya sendiri dengan wafat di kayu salib. Kematian Yesus di kayu salib
merupakan akibat kekejaman para lawan politiknya yang merasa kemapaman (status
quonya) terganggu dan takut kehialangan simpati rakyat karena kehadiran Yesus.
Para kaum muda katolik dipanggil dan diutus untuk terlibat dan bergulat dengan
politik. Namun politik yang dipraktekan hendaknya bercermin pada gaya politik
Yesus Kristus. Ada beberapa poin yang bisa dijadikan pedoman dari gaya Yesus
berpolitik:
1. Kritis dalam beropsi politik (Bdk. Pilihan-Nya pada spiritualitas
Yohanes Pembaptis: memilik praktek politik yang membebaskan, bukan yang
membelenggu) .
2. Berpolitik dengan Hati Nurani: hati yang penuh Kasih
(beretika/bermoral) .
3. Berpolitik dengan pengabdian dan pengorbanan yang total kepada
Allah dan sesama.
4. Non-violance: tanpa Kekerasan, lewat dialog yang kritis-bukan
kerahkan massa untuk demo (Bdk sikap Yesus ketika ditanyakan soal membayar pajak
dalam Mat.22:15-22- bacaan Minggu kemarin) .
5. Menempatkan bonum communae, kebaikan bersama dan kepentingan orang
banyak (terutama yang terpinggirkan, yang tak diperhitungkan, dan tak mampu
bersuara) di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
5. Kesimpulan
Berpolitik merupakan panggilan dan perutusan kita para murid Kristus. Dalam
Gereja, tugas itu ada dalam pundak para kaum muda. Karena itu, Gereja amat
mengharapkan keterlibatan dan partisipasi aktif para kaum muda dalam berpolitik.
Namun, praktek politik yang diharapkan untuk kita tampilkan adalah POILITIK GAYA
YESUS: kritis, liberatif, dialogis-non violance, penuh kasih (dengan Hati
Nurani/beretika/ bermoral) , dan menguusung bonum communae (social welfare):
kebaikan, kesejahteraan dan kemananan bersama. Hanya dengan demikian Kita dapat
menjadi “garam� dan “terang� bagi dunia.
Mengakhiri makalah ini, saya mengetuk hati kita untuk kembali merenungkan mandat
dan pesan Yesus ini untuk kita semua, para murid-Nya: “Lihat, Aku mengutus
kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik
seperi ular dan tulus seperti merpati. Tetapi waspadalah terhadap semua orang;
karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan
menyesahkan kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka
penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi
orang yang tidak mengenal Allah. Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu
kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu
akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang
berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.�
(Mat.10:16-20) . Anda, Para kaum muda Katolik, “bersediakah anda untuk
berpolitik dan menjadi politikus
yang membawa mandat dan pesan Yesus Kristus, Tuhan dan Sahabat Sejatimu ini?�
Jangan Takut! “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman�
(Mat.28:20).
Tuhan memberkati.


[9] Gereja di sini dipahami sebagai kumpulan orang-orang yang percaya dan sudah
dibaptis dalam nama Yesus Kristus. Mereka semua berhak untuk berpolilitk dan
berperan aktif dalam perpolitikan. Namun demikian, untuk anggota Gereja yang
dipanggil secara khusus (Hierarki, Klerus) tidak diperkenankan untuk mengambil
bagian bagian dalam politik praktis, yakni menjabat posisi publik dalam
pemerintahan (KHK, Kan.285,§3), dilarang untuk terlibat dalam partai-partai
politik (KHK, Kan.287,§2) Namun demikian, bila menurut penilaian otoritas
gerejawi yang berwenang, keterlibatan imam dipandang perlu untuk melindungi
hak-hak gereja atau memajukan kesejahteraan umum, maka ia dapat diberi
dispensasi (KHK, Kan.287,§2) .

[10] Visi dan misi Gereja dalam berpolitik adalah mengabdi kebenaran danÂ
mewartakan keselamatan Allah (sukacita, keadilan dan damai sejahtera) yang telah
diwartakan oleh Yesus Kristus kepada semua orang, terutama mereka yang “tak
berdaya� dan berdosa (Bdk. Luk.4:18-19) .

[11] Frans Ceunfin, “Etika Umum�, bahan kuliah STFK Ledalero 2002, hal 5, 7.

[12] Martinus Eamanuel Ano, “Menjadi Gereja Asia Menurut Aloysius Pieris�,
Skripisi, STFK Ledalero, 2002, hal. 38. NEGERI ABU-ABU

ETIKA BERPOLITIK

BERPOLITIKLAH DENGAN HATINURANIMU, MAKA POLITIKMU AKAN MENGARAHKAN HATI NURANIMU KEPADA KEPENTINGAN RAKYAT...